Karenina Sunjaya menatap kosong pigura foto yang terletak di atas meja belajarnya. Foto dirinya yang tengah tersenyum bahagia dengan se-orang anak laki-laki yang sebaya dengan dirinya. Dalam bingkai memori itu, mereka memamerkan genggaman tangan mereka yang erat juga ketulusan hati mereka, Namun benarkah Karen tulus? Kalau Karen tulus, seharusnya tak pernah ia corengkan noda itu. Kalau iya dia tulus, seharusnya ia tidak memilih untuk meninggalkan anak laki-laki itu. Meskipun Karen melakukan semua itu, karena tidak ingin menyakiti hati anak laki-laki itu. Terutama ketika Karen harus menembus ruang dan waktu. Namun semuanya tinggal kenangan sekarang, Karen hanya dapat memutar roda fantasinya menuju saat itu…
Brukkk!!
“Aduh! Sakit tau!” seru Karen ketika seseorang menabraknya di koridor sekolah.
“Soriii,” ucap seorang anak laki-laki yang memiliki senyum manis. Karen terpana sesaat. Namun ia kembali bangkit berdiri dan mengacuhkan permintaan maaf anak laki-laki itu. Karen kembali berjalan menuju kelasnya. Suara derap langkah kakinya menggema di sepanjang koridor. Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, memiringkan kepalanya sedikit. Se-olah-olah tersengat sesuatu, Karen memutar tubuhnya dan mencari anak laki-laki yang tadi menabraknya. Berusaha untuk mengucapkan kata maaf karena sesungguhnya Karen juga tidak terlalu memperhatikan jalan tadi.
“Cari gua ya?” tanya seseorang dari belakang tubuh Karen. Sontak, Karen menoleh dan ia menemukan lagi senyum yang membuatnya merasa aneh. Aneh karena hatinya berdetak tidak karuan. Karen terdiam membeku.
“Halooo, bengong ya?” Anak laki-laki yang tadi membuat Karen terjatuh kini melambaikan tangannya di depan Karen. Berusaha membangunkan Karen dari lamunannya.
“Apaan sih!” sahut Karen jutek menanggapi anak laki-laki itu.
“Yah, marah. Maaf deh yang tadi, gue gak sengaja. Kenalin, gue Bian. Biantara Putra. Gue anak baru,” jelas Bian panjang lebar.
“Oh iya gapapa, lu masuk kelas berapa? Gua Karen, Karenina Sunjaya”
“Kelas berapa ya? Mau tau aja!” balas Bian jahil.
“Pelit! Mending nggak usahhh!” seru Karen nggak mau kalah. Bian menarik hidung Karen iseng. Sejak itulah, keduanya larut dalam dunia mereka. Saling mengenal satu sama lain, hingga Karen kembali menelusuri saat-saat yang mendebarkan hatinya itu.
“Karen,” panggil Bian. Karen kini tengah sibuk memandangi lautan luas yang membentang di hadapannya. Karen paling suka laut, Karen suka biru, Karen suka air, Karen juga suka menikmati itu semua bersama dengan orang yang Karen sayang. Yang kini berdiri di hadapan Karen, Bian.
“ Apa, Bi?” tanya Karen seraya menoleh ke arah Bian yang sedang memegang kamera LSRnya.
“Gue sayang sama lu, Karen” ucap Bian serius.
Angin yang berhembus kencang menerpa wajah Karen. Rambut panjangnya terurai indah. Matanya terbelalak kaget.
Ceklik!
Bunyi kamera Bian seusai memfoto ekspresi terkejut Karen. Sementara itu, Karen tidak tahu harus mengatakan apa.
“Gue serius, Karen. Would you be mine?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar keluar dari mulut Bian. Setelah kedekatan mereka selama ini. Karen sungguh ingin menangis bahagia. Selama ini, Bian selalu ada untuknya. Ketika semua orang meninggalkan dia, Bian selalu ada disisinya. Bian selalu meminjamkan bahunya sebagai tempat Karen untuk menangis. Tak terasa sudah 3 tahun berlalu ya, Bi? Mutiara ben ing kini benar-benar mengalir membasahi pipi gadis itu. Semburat merah juga mewarnai wajahnya. Karen mengangguk pelan.
Satu kali…Dua kali…Tiga kali…
Tanpa terasa ia sudah berada dalam dekapan hangat Bian. Mereka tertawa bahagia.
Karen harus kembali ke alam nyata. Ia tidak boleh terus terpuruk dalam lorong gelap itu. Namun apa daya sekarang? Karen membuka salah satu laci di pojok meja belajarnya. Karen menemukan satu foto lagi. Kali ini, foto itu bukan foto yang mengungkapkan kebahagiaan seperti yang sebelumnya Karen lihat. Foto ini merangkai gambar sebuah batu nisan.
R.I.P BIANTARA PUTRA
18-11-1994 s/d 03-04-2013
Mata Karen yang bulat nan indah itu tampak berkaca-kaca. Kini gadis itu meraih sebuah amplop surat yang tergeletak manis di atas meja belajarnya. Namun tak urung, gadis itu kembali menangis hebat ketika harus membaca isi surat formal tersebut yang sama sekali tidak manis baginya.
NONA KARENINA SUNJAYA POSITIF MENGIDAP KANKER DARAH STADIUM 4B
Seuntai kalimat itu menghiasi benak Karen. Bahunya bergetar lemah. Jerit tangisnya menghantarkan kepahitan yang mendalam.
Bian...
Maafin aku..
Aku sayang kamu..
Namun aku takut, jika suatu hari nanti aku harus mati..
Harus meninggalkan kamu yang selama ini selalu ada buat aku.
Aku nggak mau kalau nanti aku harus nyakitin kamu.
Maka aku memilih kata putus saat itu...
Tapi aku bodoh, justru karena aku bilang kata itu tanpa alasan yang jelas...
Kamu harus terjerembap dalam tragedi itu..
Aku pernah bilang kan? Jangan suka ngebut waktu naik motor, Bi.
Karena itu kamu jadi ninggalin aku duluan kan?
Kita itu pasangan yang bodoh, ya?
Bi, kamu tahu kan? Sekarang aku udah nggak punya siapa-siapa lagi.
Bian, aku sungguh akan mengakhiri semuanya sekarang..
Aku mohon, tunggu aku disana.
Izinkan aku berada di sisimu lebih lama lagi
Kali ini, aku tidak akan menyesal
Karen memilih untuk mengakhiri detik yang berputar dalam tubuhnya saat itu juga. Pada akhirnya, semua yang tersisa begitu gelap baginya. Mungkin ini yang terbaik untuk Karen. Berakhir dengan gumpalan darah yang indah demi meraih cinta yang tersembunyi dibalik dimensi lain. Meraih Bian.
Ketika jiwa tak dapat diraih
Ketika raga tlah hancur
Mungkinkah aku dapat menembus
Pintu ruang dan waktu
Tempat bisu menyelimuti engkau?
</3
BalasHapus