Aku
meratap di balik
celah kayu yang melindungiku selama ini. Kututup sebelah mataku agar tatapanku dapat fokus tertuju pada dunia di luar lubang itu.
Pemandangan yang kulihat masih sama seperti kemarin, kemarin lusa, minggu lalu,
bulan lalu, dan tahun lalu. Meski mentari tampak bersinar terang, namun tak
cukup membuatku tertarik untuk keluar dari persembunyianku sekarang ini. Aku
tersenyum lemas. Andai suatu hari ada seseorang yang mengenali hatiku dan
membawaku keluar dari bilik sempit ini. Andai, pikirku naif.
Kuletakkan
pena yang kubuat dari tangkai daun dengan darah sebagai tintanya. Darah itu
berasal dari lenganku yang terluka ketika hendak naik dan memanjat rumah pohon
ini. Sedikit puas aku mengangkat kain yang kugunakan sebagai tempat menulis
tadi. Syair yang kuciptakan untukmu. Biarkan aku mendendangkan melodi ini, dan
kuharap kau mendengarnya dari bawah bumi yang bercampur tanah, serta di atas
langit yang terhalang awan.
Abadi...
Manakala hati terlampau
hancur
Dalam tangis semua itu
melebur
Asa dan pahit bercampur
Menatap tubuh rapuhmu
terpekur
Maafkan aku
Yang membawamu ke dalam
kegelapan
Aku ingin menjanjikanmu
Hidup tanpa kematian
Aku ingin menjadikanmu
Abadi dalam setiap
keadaan
Karena satu kata
untukmu
Itu cinta dan harus kau
simpan
Aku
menghentikan nyanyianku. Kurasakan angin yang berhembus menerpa wajahku.
Rambutku yang terurai mengalun lembut di balik punggung. Kupalingkan mata dan
kulihat sosok seorang gadis yang berparas cantik dalam balutan dress putih. Ternyata, satu-satunya
benda yang menghiasi dinding rumah pohon ini juga bisa berbohong. Cermin itu
berbohong! Aku tidak seindah itu. Meski tampak bagus di luar, tahukah ia
tentang perasaanku? Hampa. Aku manusia kosong dan tak berguna. Dunia dan
waktuku terjebak di sini.
Kenangan yang takkan pernah bisa diulang, hari demi hari, setiap detiknya dapat
kuingat di sini.
Bahkan desau angin ini meneriakkan namamu. Telingaku dapat mendengarnya dengan
jelas.
‘Eita.. Eita.. Eita…’
Nama
itu terngiang-ngiang dalam kepalaku. Bagaimana ini? Apa yang harus
kulakukan? Aku hanya dapat mengingat dirimu. Satu per satu potongan memori itu
mencuat keluar. Diriku yang sedang tertawa bersamamu, senyuman lembutmu,
pancaran matamu, aku juga ingat ketika tanganku berada dalam genggamanmu.
Begitu hangat dan besar, batinku waktu itu. Namun hanya satu yang tidak dapat
kumengerti, mengapa wajahmu tampak buram dan kabur dalam ingatanku? Mengapa
waktu itu aku begitu lepas kendali dan menepis tubuhmu. Hingga akhirnya engkau terperosok dalam
jurang itu dan kembali ketika jiwamu telah lenyap.
Untuk
terakhir kalinya, aku hanya dapat melihat banner
tempat namamu tertera di sebelah kanan kemejamu. Aku pembunuh, benar kan?
Mengapa aku tidak dapat mengingatnya? Tenang saja, Eita! Aku akan segera
mengingatnya! Saat ini juga, aku akan berusaha mengingatnya. Aku akan segera
mengingat seluruh wajahmu, dirimu dari kepala sampai kaki. Aku yakin hatiku tak
mungkin salah. Hatiku mengingatmu. Kupejamkan kedua mataku, memutar logikaku
dengan keras. Aku harus bisa.
“Aaaaaaaaarrrghhhh!!!”
jeritku tak kuat menahan rasa nyeri yang menyerang otakku. Tidak, rasa sakit
ini tidak hanya terasa di otakku, genderang perih ini juga menyerbu hatiku.
Apakah aku sebodoh ini?
“Nona!
Apa yang terjadi?!”
Seseorang
menghampiriku dan memegang erat bahuku. Dia mengenakan pakaian formal dan
tampak seperti seorang butler. Aku
dapat merasakan kekhawatiran dan rasa panik dari kedua bola mata orang itu yang
berwarna hazel. Nafasnya memburu dan
tampak terengah-engah. Apakah dia berlari dan memanjat pohon ini untuk
memastikan diriku baik-baik saja? Tunggu, sepertinya aku mengenal wajahnya. Dia
siapa?
“Kau
siapa?”
Kini,
giliran dia yang tampak linglung. Dia menatapku lekat-lekat. Apa ada yang aneh?
Apa ada yang salah dengan diriku? Kurasa tidak, lalu?
“Nona,
Anda kenapa? Apa Anda bertanya seperti itu karena Anda tidak tahu? Apakah
sekarang Anda sedang menyindir saya yang lancang naik ke sini? Benarkah begitu?
Saya akan segera turun,” tanyanya bertubi-tubi membuatku merasa penat.
Aku
meraih tangannya berusaha untuk menghentikan aksinya. Kemudian kuanggukkan
kepala penuh keyakinan. “Ya, aku tidak mengenalmu dan aku tidak tahu apa yang
sedang kau bicarakan sekarang” ucapku membuat air mukanya menjadi sinis.
“Yang
benar saja! Sudahlah, sekarang
kau ikut aku dan segera turun dari sini. Kita harus ke rumah sakit. Kumohon kau
jangan membuatku muak dengan semua ini! Anggap saja aku pelayanmu yang setia,
kau mengerti?” jawabnya
seraya menaikkan volume suaranya.
Aku
menaikkan kedua alisku. Benar-benar orang ini! Genggaman tangannya melingkari
pergelangan tanganku dengan kuat. Sekilas kulihat ada api yang memancar dari
sinar matanya. Refleks, kedua tanganku mengepal. Ingin rasanya aku menonjok
orang ini. Kuurungkan niatku ketika kulihat ia tampak sedih. Ah, kurasa aku
harus sedikit lebih bersabar. Bisu mulai menyelimuti kami berdua. Kuberanikan
untuk mengangkat suaraku,
“Kau
mengenalku?”
“Sudahlah,
aku takkan menjawabnya. Kurasa memang sebaiknya kau diam saja dan ikuti aku!”
Kami
menuruni tangga tempat keluar masuk rumah pohon itu. Lengannya yang besar tetap
menuntunku. Ketika ia membukakan pintu mobil dan hendak menyuruhku masuk, aku
melupakan sesuatu. Akibat tergesa-gesa tadi, kain yang berisi syair lagu itu
tertinggal di dalam rumah pohon. Aku ingin mengambilnya kembali. Kukatakan
kepadanya bahwa itu sangat penting dan berharga bagiku. Dia menghela nafas
berat. Sementara yang kulakukan hanya dapat memandangnya dan menunggu jawabann.
“Aku
ingat syairnya, Nona. Suara nyanyian dan jeritanmu tadi cukup kencang untuk terdengar
hingga ke bawah, untuk apa lagi kau ambil syair itu? Aku akan menuliskannya
untukmu jika kau lupa,” katanya bijak dan berusaha menenangkanku
“Tidak
bisa!” tegasku kepadanya sambil bergegas untuk memanjat dan kembali ke rumah
pohon itu. Dia menarik kakiku. Badanku berguncang ke kiri dan ke kanan, sebelum
akhirnya aku terjatuh dan menimpa tubuh butler
itu.
“Hey,
apa yang kau lakukan?! Itu berbahaya! Bukankah kau pelayanku? Lalu, mengapa kau
lakukan itu kepada tuanmu?” bentakku sedikit kasar. Aku tahu kini ia sedang
menahan amarahnya. Ia tampak kecewa sekali dengan perkataanku tadi.
“Bodoh,”
umpatnya pelan hingga nyaris tak terdengar.
Sebenarnya, siapa dia? Ini tidak adil bagiku, kenapa dia bisa mengenalku
sementara aku tidak? Berapa lama dia mengenalku? Seberapa besar dia mengerti
diriku? Kenapa dia tampak begitu menyayangiku dan menganggapku berharga?
Bagaimana bisa laki-laki ini menyengat mataku melebihi terik matahari?
“Kau
bodoh!” katanya sekali lagi.
“Maksudmu?”
“Bagaimana
kalau orang dalam syairmu itu sebenarnya tidak mati? Bagaimana kalau kau bukan
pembunuh yang nyata? Bagaimana kalau kau hanya mematikan dirinya dalam
ingatanmu, bagaimana kalau ternyata orang itu adalah orang yang kini berdiri di
hadapanmu?”
“Ya!
Apa maksudmu sih? Kenapa kau menggunakan kalimat yang begitu sulit untuk
dimengerti?”
Gejolak
itu kini memenuhi rongga dadaku. Bagai belati yang menusuk jantungku. Dia
menyinggung sesuatu yang tidak seharusnya dia singgung, dia mengatakan sesuatu
yang tidak seharusnya dia katakan, bahkan jika dia diancam mati, dia tetap
tidak boleh membicarakan hal itu! Tidak boleh mengingatkanku tentang Eita.
Hanya aku seorang yang boleh memiliki Eita dalam pikiran dan hatiku. Takkan
kuizinkan siapapun memasuki barikade ini. Aku menyusunnya dengan susah payah.
Jadi, tolong biarkan aku sendiri dalam kegelapan ini.
·
Di
dalam mimpi aku
mendengar suara bariton yang berseru memanggil namaku. Tubuhku seperti
melayang-layang di udara. Rasanya begitu ringan. Aku kembali mendengar
panggilan itu.
Aoi!
Aoi!
“Aoiii!!!”
teriakkan itu mengembalikkanku ke alam nyata. Sensasi ini...
Aku
merasa dalam sekejap seperti ada yang berubah dalam diriku. Entah apa ini aku
juga tidak mengerti. Mataku menangkap tubuh seseorang yang berpakaian seperti butler. Rasanya begitu familiar. Ah,
ternyata itu dia.
“Nona
Izumi? Kau baik-baik saja? Tadi kau pingsan di dekat rumah pohon, mungkin
karena kita telat melakukan pemeriksaan di rumah sakit hari ini. Apa kau sudah
merasa baikkan? Tunggu, apa kau mengenalku?”
“Kau
lucu sekali,” jawabku seraya tertawa terbahak-bahak.
“Maaf?”
“Eita,
apa kau sedang bercanda sekarang? Kenapa kau memanggilku nona? Bagaimana
mungkin aku tidak mengenalmu? Lalu, apa yang terjadi dengan pakaianmu?”
“Izumi
Aoi?”
“Ya,
ada apa Izumi Eita?”
“Ingatanmu
sudah pulih? Katakan siapa aku!!!”
“Kau
kakak tiriku, kau orang yang kucintai. Kukatakan kepadamu hari itu bahwa aku
menyayangimu lebih dari status kakak dan adik. Lalu kau menolakku. Apa aku
sudah terlihat kuat sekarang?” ujarku
berusaha tampak tegar.
Aku
berani bertaruh, Eita hanya akan menatapku dalam diam. Terlalu bodoh jika aku
berharap dia dapat mengubah jawabannya pada hari itu dan mengatakan bahwa dia
mencintaiku. Tak apa kan sedikit berharap?
Satu...
Dua...
Tiga...
Tangisku
meledak. Eita memelukku dan mengelus puncak kepalaku. Tak lupa dia membisikkan
satu kalimat yang membuatku merasa seperti memiliki sayap. “Aku mencintaimu,”
begitu katanya. Kalimat yang telah kutunggu
sejak 7 tahun yang lalu.
·
Tiga jam setelah pengakuan
Eita kepadaku, akhirnya aku mengerti semuanya. Aku yang ditolak Eita pada hari
itu hanya dapat menangis dan menangis. Aku yang tidak dapat menerima status
bahwa aku dan Eita hanya boleh berhubungan sebagai kakak dan adik, terus
menangis dan menangis. Aku juga mengurung diri di rumah pohon itu. Hingga tanpa
sadar aku melukai kejiwaanku sendiri. Hingga tanpa sadar, aku mengalami
kerusakkan otak akut. Eita yang khawatir menemukanku pingsan di dalam rumah
pohon itu. Tubuhku sangat dingin, begitu
ceritanya. Dokter memberi vonis bahwa aku menderita prosopagnosia amnestic. Penyakit yang menyebabkanku tidak mampu
mencocokkan wajah orang itu dengan nama, pekerjaan, ataupun informasi lain
tentang orang itu. Dokter berkata hal ini terjadi karena adanya gangguan pada
proses perekaman informasi dan memori penderita. Tanpa sadar, aku melakukan
semua itu hanya karena diriku merasa kerdil ketika harus menghadapi Eita. Aku hanya dapat bersembunyi di balik bayang-bayang
Eita. Aku bahkan berkhayal bahwa aku yang membunuh Eita dengan mendorongnya ke
dalam jurang. Dokter berkata ini merupakan mukjizat karena aku dapat pulih
dengan cepat. Awalnya aku cukup heran karena tidak mengerti dengan apa yang
dimaksud oleh dokter, namun karena Eita berkata bahwa itu benar maka aku
percaya bahwa kata-kata dokter mengenai diriku itu sama sekali tidak salah.
Eita bahkan harus berpura-pura sebagai pelayanku hanya untuk menjagaku. Eita
bilang hanya dia satu-satunya orang yang wajahnya tidak dapat kuingat sementara aku
masih bisa mengenali ayah
dan ibu kami.
Aku
merasa seperti telah terlahir kembali. Eita mengatakan kepadaku bahwa ia menolakku
karena ia tidak dapat membedakan perasaaannya kala itu. Dia bingung apakah ia
menyayangiku sebagai adik atau lebih dari itu. Dia mulai menyadari bahwa dia
mencintaiku ketika aku tidak mengingatnya dan ia merasa bahwa ketika aku sakit,
jarak di antara
kami terpaut begitu jauh. Dia tidak ingin kehilanganku. Ketika dia mengatakan
itu aku hanya dapat menangis bahagia. Kini, 5 tahun setelah semua itu kami
berdiri di depan altar. Aku yang dulu benar-benar tidak menyangka hal seperti
ini akan terjadi.
“Izumi
Aoi, mulai sekarang jangan panggil aku Izumi Eita. Panggil aku Takahashi Eita.
Aku bukan kakakmu lagi!”
“Maksudmu?
Kau mau meninggalkanku?”
“Iya,
aku tidak ingin kau menjadi adikku lagi” Kalimat itu sangat menohok. Eita akan
pergi dariku. Bahkan dia tidak ingin aku menjadi adiknya. Bukankah dia bilang
dia mencintaiku? Bukankah aku dan dia memiliki hubungan?
“Ayo
kita menikah,” senyumnya mengembang dan barulah saat itu aku mengerti apa
maksud ucapannya. Eita telah
mengganti namanya dan keluar dari kartu keluarga Izumi. Aku merasa bersalah
karena ketika aku divonis menderita prospagnosia amnestic, semua orang
menyalahkan Eita. Eita pasti merasa sangat lelah.
Aku
mengangguk tanpa ragu.
“Aku
ingin hidup bersamamu. Aku ingin bertengkar denganmu seperti kakak dan adik,
aku ingin berdebat denganmu layaknya suami-istri yang cekcok, aku ingin
menjagamu seolah-olah hanya kau satu-satunya keluargaku, aku ingin mengatakan
aku mencintaimu dan mengecup keningmu setiap hari layaknya orang yang sedang
berpacaran, aku ingin menghabiskan masa tuaku bersamamu,” jelas Eita sambil
mendekap tubuhku erat.
Aku
yang sekarang dapat mengingat dengan jelas satu per satu kenangan yang kulalui
bersama Eita. Kenangan ketika Eita melamarku membuat jantungku tambah berdegup
kencang.
“Izumi
Aoi, apakah kau bersedia untuk melewati suka dan duka bersamanya? Bersediakah
engkau untuk terus mencintainya sampai maut memisahkan?”
“Ya,
aku bersedia”