Kamis, 17 April 2014

MENGEJAR KENANGAN ~ NOVITA SURYADI


Aku meratap di balik celah kayu yang melindungiku selama ini. Kututup sebelah mataku agar tatapanku dapat fokus tertuju pada dunia di luar lubang itu. Pemandangan yang kulihat masih sama seperti kemarin, kemarin lusa, minggu lalu, bulan lalu, dan tahun lalu. Meski mentari tampak bersinar terang, namun tak cukup membuatku tertarik untuk keluar dari persembunyianku sekarang ini. Aku tersenyum lemas. Andai suatu hari ada seseorang yang mengenali hatiku dan membawaku keluar dari bilik sempit ini. Andai, pikirku naif.
Kuletakkan pena yang kubuat dari tangkai daun dengan darah sebagai tintanya. Darah itu berasal dari lenganku yang terluka ketika hendak naik dan memanjat rumah pohon ini. Sedikit puas aku mengangkat kain yang kugunakan sebagai tempat menulis tadi. Syair yang kuciptakan untukmu. Biarkan aku mendendangkan melodi ini, dan kuharap kau mendengarnya dari bawah bumi yang bercampur tanah, serta di atas langit yang terhalang awan.
Abadi...
Manakala hati terlampau hancur
Dalam tangis semua itu melebur
Asa dan pahit bercampur
Menatap tubuh rapuhmu terpekur
Maafkan aku
Yang membawamu ke dalam kegelapan
Aku ingin menjanjikanmu
Hidup tanpa kematian
Aku ingin menjadikanmu
Abadi dalam setiap keadaan
Karena satu kata untukmu
Itu cinta dan harus kau simpan
Aku menghentikan nyanyianku. Kurasakan angin yang berhembus menerpa wajahku. Rambutku yang terurai mengalun lembut di balik punggung. Kupalingkan mata dan kulihat sosok seorang gadis yang berparas cantik dalam balutan dress putih. Ternyata, satu-satunya benda yang menghiasi dinding rumah pohon ini juga bisa berbohong. Cermin itu berbohong! Aku tidak seindah itu. Meski tampak bagus di luar, tahukah ia tentang perasaanku? Hampa. Aku manusia kosong dan tak berguna. Dunia dan waktuku terjebak di sini. Kenangan yang takkan pernah bisa diulang, hari demi hari, setiap detiknya dapat kuingat di sini. Bahkan desau angin ini meneriakkan namamu. Telingaku dapat mendengarnya dengan jelas.
Eita.. Eita.. Eita…
Nama itu terngiang-ngiang dalam kepalaku. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku hanya dapat mengingat dirimu. Satu per satu potongan memori itu mencuat keluar. Diriku yang sedang tertawa bersamamu, senyuman lembutmu, pancaran matamu, aku juga ingat ketika tanganku berada dalam genggamanmu. Begitu hangat dan besar, batinku waktu itu. Namun hanya satu yang tidak dapat kumengerti, mengapa wajahmu tampak buram dan kabur dalam ingatanku? Mengapa waktu itu aku begitu lepas kendali dan menepis tubuhmu. Hingga akhirnya engkau terperosok dalam jurang itu dan kembali ketika jiwamu telah lenyap.  
Untuk terakhir kalinya, aku hanya dapat melihat banner tempat namamu tertera di sebelah kanan kemejamu. Aku pembunuh, benar kan? Mengapa aku tidak dapat mengingatnya? Tenang saja, Eita! Aku akan segera mengingatnya! Saat ini juga, aku akan berusaha mengingatnya. Aku akan segera mengingat seluruh wajahmu, dirimu dari kepala sampai kaki. Aku yakin hatiku tak mungkin salah. Hatiku mengingatmu. Kupejamkan kedua mataku, memutar logikaku dengan keras. Aku harus bisa.
“Aaaaaaaaarrrghhhh!!!” jeritku tak kuat menahan rasa nyeri yang menyerang otakku. Tidak, rasa sakit ini tidak hanya terasa di otakku, genderang perih ini juga menyerbu hatiku. Apakah aku sebodoh ini?
“Nona! Apa yang terjadi?!”
Seseorang menghampiriku dan memegang erat bahuku. Dia mengenakan pakaian formal dan tampak seperti seorang butler. Aku dapat merasakan kekhawatiran dan rasa panik dari kedua bola mata orang itu yang berwarna hazel. Nafasnya memburu dan tampak terengah-engah. Apakah dia berlari dan memanjat pohon ini untuk memastikan diriku baik-baik saja? Tunggu, sepertinya aku mengenal wajahnya. Dia siapa?
“Kau siapa?”
Kini, giliran dia yang tampak linglung. Dia menatapku lekat-lekat. Apa ada yang aneh? Apa ada yang salah dengan diriku? Kurasa tidak, lalu?
“Nona, Anda kenapa? Apa Anda bertanya seperti itu karena Anda tidak tahu? Apakah sekarang Anda sedang menyindir saya yang lancang naik ke sini? Benarkah begitu? Saya akan segera turun,” tanyanya bertubi-tubi membuatku merasa penat.
Aku meraih tangannya berusaha untuk menghentikan aksinya. Kemudian kuanggukkan kepala penuh keyakinan. “Ya, aku tidak mengenalmu dan aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan sekarang” ucapku membuat air mukanya menjadi sinis.
“Yang benar saja! Sudahlah, sekarang kau ikut aku dan segera turun dari sini. Kita harus ke rumah sakit. Kumohon kau jangan membuatku muak dengan semua ini! Anggap saja aku pelayanmu yang setia, kau mengerti?” jawabnya seraya menaikkan volume suaranya.  
Aku menaikkan kedua alisku. Benar-benar orang ini! Genggaman tangannya melingkari pergelangan tanganku dengan kuat. Sekilas kulihat ada api yang memancar dari sinar matanya. Refleks, kedua tanganku mengepal. Ingin rasanya aku menonjok orang ini. Kuurungkan niatku ketika kulihat ia tampak sedih. Ah, kurasa aku harus sedikit lebih bersabar. Bisu mulai menyelimuti kami berdua. Kuberanikan untuk mengangkat suaraku,
“Kau mengenalku?”
“Sudahlah, aku takkan menjawabnya. Kurasa memang sebaiknya kau diam saja dan ikuti aku!”
Kami menuruni tangga tempat keluar masuk rumah pohon itu. Lengannya yang besar tetap menuntunku. Ketika ia membukakan pintu mobil dan hendak menyuruhku masuk, aku melupakan sesuatu. Akibat tergesa-gesa tadi, kain yang berisi syair lagu itu tertinggal di dalam rumah pohon. Aku ingin mengambilnya kembali. Kukatakan kepadanya bahwa itu sangat penting dan berharga bagiku. Dia menghela nafas berat. Sementara yang kulakukan hanya dapat memandangnya dan menunggu jawabann.
“Aku ingat syairnya, Nona. Suara nyanyian dan jeritanmu tadi cukup kencang untuk terdengar hingga ke bawah, untuk apa lagi kau ambil syair itu? Aku akan menuliskannya untukmu jika kau lupa,” katanya bijak dan berusaha menenangkanku
“Tidak bisa!” tegasku kepadanya sambil bergegas untuk memanjat dan kembali ke rumah pohon itu. Dia menarik kakiku. Badanku berguncang ke kiri dan ke kanan, sebelum akhirnya aku terjatuh dan menimpa tubuh butler itu.
“Hey, apa yang kau lakukan?! Itu berbahaya! Bukankah kau pelayanku? Lalu, mengapa kau lakukan itu kepada tuanmu?” bentakku sedikit kasar. Aku tahu kini ia sedang menahan amarahnya. Ia tampak kecewa sekali dengan perkataanku tadi.
“Bodoh,” umpatnya pelan hingga nyaris tak terdengar. Sebenarnya, siapa dia? Ini tidak adil bagiku, kenapa dia bisa mengenalku sementara aku tidak? Berapa lama dia mengenalku? Seberapa besar dia mengerti diriku? Kenapa dia tampak begitu menyayangiku dan menganggapku berharga? Bagaimana bisa laki-laki ini menyengat mataku melebihi terik matahari?
“Kau bodoh!” katanya sekali lagi.
“Maksudmu?”
“Bagaimana kalau orang dalam syairmu itu sebenarnya tidak mati? Bagaimana kalau kau bukan pembunuh yang nyata? Bagaimana kalau kau hanya mematikan dirinya dalam ingatanmu, bagaimana kalau ternyata orang itu adalah orang yang kini berdiri di hadapanmu?”
“Ya! Apa maksudmu sih? Kenapa kau menggunakan kalimat yang begitu sulit untuk dimengerti?”
Gejolak itu kini memenuhi rongga dadaku. Bagai belati yang menusuk jantungku. Dia menyinggung sesuatu yang tidak seharusnya dia singgung, dia mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dia katakan, bahkan jika dia diancam mati, dia tetap tidak boleh membicarakan hal itu! Tidak boleh mengingatkanku tentang Eita. Hanya aku seorang yang boleh memiliki Eita dalam pikiran dan hatiku. Takkan kuizinkan siapapun memasuki barikade ini. Aku menyusunnya dengan susah payah. Jadi, tolong biarkan aku sendiri dalam kegelapan ini.
·          
Di dalam mimpi aku mendengar suara bariton yang berseru memanggil namaku. Tubuhku seperti melayang-layang di udara. Rasanya begitu ringan. Aku kembali mendengar panggilan itu.
Aoi!
Aoi!
“Aoiii!!!” teriakkan itu mengembalikkanku ke alam nyata. Sensasi ini...
Aku merasa dalam sekejap seperti ada yang berubah dalam diriku. Entah apa ini aku juga tidak mengerti. Mataku menangkap tubuh seseorang yang berpakaian seperti butler. Rasanya begitu familiar. Ah, ternyata itu dia.
“Nona Izumi? Kau baik-baik saja? Tadi kau pingsan di dekat rumah pohon, mungkin karena kita telat melakukan pemeriksaan di rumah sakit hari ini. Apa kau sudah merasa baikkan? Tunggu, apa kau mengenalku?”
“Kau lucu sekali,” jawabku seraya tertawa terbahak-bahak.
“Maaf?”
“Eita, apa kau sedang bercanda sekarang? Kenapa kau memanggilku nona? Bagaimana mungkin aku tidak mengenalmu? Lalu, apa yang terjadi dengan pakaianmu?”
“Izumi Aoi?”
“Ya, ada apa Izumi Eita?”
“Ingatanmu sudah pulih? Katakan siapa aku!!!”
“Kau kakak tiriku, kau orang yang kucintai. Kukatakan kepadamu hari itu bahwa aku menyayangimu lebih dari status kakak dan adik. Lalu kau menolakku. Apa aku sudah terlihat kuat sekarang?”  ujarku berusaha tampak tegar.
Aku berani bertaruh, Eita hanya akan menatapku dalam diam. Terlalu bodoh jika aku berharap dia dapat mengubah jawabannya pada hari itu dan mengatakan bahwa dia mencintaiku. Tak apa kan sedikit berharap?
Satu...
Dua...
Tiga...
Tangisku meledak. Eita memelukku dan mengelus puncak kepalaku. Tak lupa dia membisikkan satu kalimat yang membuatku merasa seperti memiliki sayap. “Aku mencintaimu,” begitu katanya. Kalimat yang telah kutunggu  sejak 7 tahun yang lalu.
·          
Tiga jam setelah pengakuan Eita kepadaku, akhirnya aku mengerti semuanya. Aku yang ditolak Eita pada hari itu hanya dapat menangis dan menangis. Aku yang tidak dapat menerima status bahwa aku dan Eita hanya boleh berhubungan sebagai kakak dan adik, terus menangis dan menangis. Aku juga mengurung diri di rumah pohon itu. Hingga tanpa sadar aku melukai kejiwaanku sendiri. Hingga tanpa sadar, aku mengalami kerusakkan otak akut. Eita yang khawatir menemukanku pingsan di dalam rumah pohon itu.  Tubuhku sangat dingin, begitu ceritanya. Dokter memberi vonis bahwa aku menderita prosopagnosia amnestic. Penyakit yang menyebabkanku tidak mampu mencocokkan wajah orang itu dengan nama, pekerjaan, ataupun informasi lain tentang orang itu. Dokter berkata hal ini terjadi karena adanya gangguan pada proses perekaman informasi dan memori penderita. Tanpa sadar, aku melakukan semua itu hanya karena diriku merasa kerdil ketika harus menghadapi Eita. Aku  hanya dapat bersembunyi di balik bayang-bayang Eita. Aku bahkan berkhayal bahwa aku yang membunuh Eita dengan mendorongnya ke dalam jurang. Dokter berkata ini merupakan mukjizat karena aku dapat pulih dengan cepat. Awalnya aku cukup heran karena tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh dokter, namun karena Eita berkata bahwa itu benar maka aku percaya bahwa kata-kata dokter mengenai diriku itu sama sekali tidak salah. Eita bahkan harus berpura-pura sebagai pelayanku hanya untuk menjagaku. Eita bilang hanya dia satu-satunya orang yang wajahnya tidak dapat kuingat sementara aku masih bisa mengenali ayah dan ibu kami.
Aku merasa seperti telah terlahir kembali. Eita mengatakan kepadaku bahwa ia menolakku karena ia tidak dapat membedakan perasaaannya kala itu. Dia bingung apakah ia menyayangiku sebagai adik atau lebih dari itu. Dia mulai menyadari bahwa dia mencintaiku ketika aku tidak mengingatnya dan ia merasa bahwa ketika aku sakit, jarak di antara kami terpaut begitu jauh. Dia tidak ingin kehilanganku. Ketika dia mengatakan itu aku hanya dapat menangis bahagia. Kini, 5 tahun setelah semua itu kami berdiri di depan altar. Aku yang dulu benar-benar tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi.
“Izumi Aoi, mulai sekarang jangan panggil aku Izumi Eita. Panggil aku Takahashi Eita. Aku bukan kakakmu lagi!”
“Maksudmu? Kau mau meninggalkanku?”
“Iya, aku tidak ingin kau menjadi adikku lagi” Kalimat itu sangat menohok. Eita akan pergi dariku. Bahkan dia tidak ingin aku menjadi adiknya. Bukankah dia bilang dia mencintaiku? Bukankah aku dan dia memiliki hubungan?
“Ayo kita menikah,” senyumnya mengembang dan barulah saat itu aku mengerti apa maksud ucapannya. Eita telah mengganti namanya dan keluar dari kartu keluarga Izumi. Aku merasa bersalah karena  ketika aku divonis menderita prospagnosia amnestic, semua orang menyalahkan Eita. Eita pasti merasa sangat lelah.
Aku mengangguk tanpa ragu.
“Aku ingin hidup bersamamu. Aku ingin bertengkar denganmu seperti kakak dan adik, aku ingin berdebat denganmu layaknya suami-istri yang cekcok, aku ingin menjagamu seolah-olah hanya kau satu-satunya keluargaku, aku ingin mengatakan aku mencintaimu dan mengecup keningmu setiap hari layaknya orang yang sedang berpacaran, aku ingin menghabiskan masa tuaku bersamamu,” jelas Eita sambil mendekap tubuhku erat.
Aku yang sekarang dapat mengingat dengan jelas satu per satu kenangan yang kulalui bersama Eita. Kenangan ketika Eita melamarku membuat jantungku tambah berdegup kencang.
“Izumi Aoi, apakah kau bersedia untuk melewati suka dan duka bersamanya? Bersediakah engkau untuk terus mencintainya sampai maut memisahkan?”

“Ya, aku bersedia”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar